Separuh Cangkir Kopi

coffeecup_istock_000011428110xsmall-660x375

“Forget love, fall in coffee”

Ini bukan akhir pekan, namun bandara riuh bukan kepalang.

Sebagian besar dari mereka berjalan tergesa-gesa. Seolah ada jam pasir yang mengejar di belakang. Beberapa sibuk melirik jam tangannya. Beberapa menoleh ke kanan dan kiri dengan bimbang. Seperti baru pertama kali berada di bandara kota ini.

Aku mendesah berat sambil menyesap kopi hitamku.

Waktu.

Dari kedai kopi di dekat ruang tunggu ini, aku menjadi saksi bahwa waktu merupakan musuh bebuyutan sebagian besar pengunjung bandara.

Kedai kopi mulai penuh sesak. Banyak pengunjung yang tak jadi masuk karena tak ada lagi kursi kosong.

Pelayan di kedai kopi saling berteriak satu sama lain. Entah apa yang mereka perdebatkan. Keluarga yang duduk di sampingku berteriak kepada anak laki-lakinya yang berusia sekitar 10 tahun dan tidak berhenti menarik-narik kursinya dengan berisik. Sementara dua wanita di belakangku berbicara dengan bahasa Kanton yang sangat cepat.

Aku pusing.

Aku menyentuh cangkir kopiku lagi. Tersisa separuh kopi hitam disana. Mendadak aku ragu untuk meminumnya.

Pikiranku teralihkan. Baru beberapa jam yang lalu aku melihat punggungnya berbalik dan menjauh. Mungkin untuk yang terakhir kali.

Tanda bahwa semua sudah selesai.

Cerita yang dibuat Tuhan tidak selalu berakhir bahagia.

Namun Tuhan itu selalu adil. Sangat adil.

Yang tidak adil adalah, Tuhan sudah memberikan kita kesempatan, namun kita mengabaikannya.

Jadi aku menganggap kemarin merupakan kesempatanku yang diberikan oleh Tuhan untuk menyelesaikan cerita denganya.

Dalam beberapa menit kedepan, aku akan meninggalkan kota ini. Entah sampai kapan.

Dan aku akan sangat berdosa apabila angkat kaki dari kota ini, tanpa menyelesaikan sesuatu yang aku mulai.

Termasuk salah satunya adalah dengannya.

Bagiku, tidak ada istilah “gagal move on.”

Yang ada hanyalah manusia yang pengecut untuk menyelesaikan apa yang mereka mulai.

Atau takut untuk menyelesaikan karena tahu akhirnya tidak akan bahagia.

Penulis yang baik adalah penulis yang menyelesaikan tulisannya.

Seperti seorang penulis yang akan membuat pusing editor dan penerbit apabila ingin menerbitkan dua buku sekaligus. Maka semuanya memang harus diselesaikan satu persatu.

Aku percaya Happy Ending itu ada. Namun aku skeptis hal tersebut akan terjadi padaku.

Bagaimanapun juga, aku percaya segala sesuatu ada porsinya.

Seperti porsiku untuk meminum kopi dua kali dalam sehari. Pagi dan Sore.

Aku melirik jam tanganku. Jam tangan milik Almarhum Ayah yang kini selalu kukenakan.

Ah, sekarang sudah pukul 11.30.

Pantas saja. Ini sudah lewat dari jadwal kopi pagiku.

Aku kembali memegang cangkir kopi.

Kali ini lebih mantap.

Saat aku menghabiskan separuh cangkir kopi ini nanti, maka secara tak langsung epilog telah terbentuk.

Aku menyesap habis kopi hitamku. Pekat dan sedikit manis. Tebakanku, ini kopi arabica dari tanah Jawa.

Aku berdiri dan menyambar daypack milikku. Hanya ini barang yang tidak kumasukkan dalam bagasi.

Pelayan di kedai kopi mengucapkan terima kasih atas kunjunganku. Kubalas dengan senyum

Aku mengeluarkan boarding pass dari saku belakang celana jeans dan bersiap masuk ke ruang tunggu.

Sebelumnya, kusempatkan melirik pemandangan kota ini dari jendela kedai kopi.

Antara ingin tersenyum, dan menghembuskan nafas.

Jadi, seperti inilah epilognya.

Kali ini, Tuhan memberiku porsi epilog yang tidak bahagia. Tapi Tuhan Yang Maha Adil memberiku kesempatan untuk menyelesaikannya.

Aku membenahi posisi ransel di pundakku dan segera menuju ruang tunggu.

15 menit lagi pesawat boarding, dan Tuhan akan menuliskan Prolog yang baru.

Tidak seperti pengunjung bandara kebanyakan, aku berjalan dengan ringan dan santai.

Karena semuanya sudah selesai, maka aku tidak perlu bermusuhan dengan waktu.

 

“You can’t start the next chapter of your life ifyou keep re-reading the last one”

 

 

 

 

 

(Hanya fiksi semata)

(Bukan cerita pribadi)

(Udah nggak usah di cie-cie in-____-)

 

Satu pemikiran pada “Separuh Cangkir Kopi

Tinggalkan Balasan ke wieduri Batalkan balasan