Coffee Talk #1

blog_07_05_2016

“Satu Caramel Latte?” tanya seorang pramusaji.

Lanang menganggukkan kepalanya dan menyunggingkan senyum datar kepada pramusaji. Dengan cekatan sang pramusaji meletakkan segelas Caramel Latte di hadapan Lanang. Dia sempat memberikan senyuman yang sedikit menggoda kepada Lanang sebelum kembali ke belakang.

Lanang tak memiliki perasaan yang cukup peka menanggapi senyuman pramusaji tersebut. Dia kembali berkonsentrasi di layar tabletnya. Entah apa yang sedang dibaca olehnya, hingga mungkin hanya serangan bom nuklir di kedai kopi tersebutlah-yang mampu memecahkan konsentrasi Lanang.

Kedai kopi ini merupakan favorit Lanang yang berada di sebuah Mal. Lanang merupakan pecinta kopi sejati, sehingga dia sudah hafal betul cafe hingga kedai kopi yang berada di setiap Mal Jakarta.

Bagi Lanang, kedai kopi di dalam Mal adalah sebuah keuntungan yang tak terhingga. Karena kedai kopi menjadi pilihan pertama Lanang ketika harus menunggu seseorang berbelanja, ke salon, atau sekedar window shopping

Lanang menyesap Caramel Latte yang masih panas. Dia meringis begitu meneguknya.

“Terlalu manis.” Gumamnya.

Siang itu sebenarnya Lanang hendak memesan Coffee Latte seperti yang biasa dia minum. Namun karana konsentrasinya terpecah oleh email yang diterimanya dari dosen pembimbing tesis, Lanang jadi keliru mengucapkan Coffee Latte menjadi Caramel Latte.

Dia kembali mengalihkan pandangannya ke layar tablet. Rupanya Lanang masih membaca email yang dikirimkan dosennya. Dia menghembuskan nafas yang berat, lalu menutup tabletnya.

Masa bodo” pikirnya.

Lanang melirik jam tangannya. Sudah pukul tiga sore lebih. Dia kembali meneguk kopinya hingga tersisa setengah gelas. Itu adalah kopi keduanya di hari Sabtu. Bagi pecinta kopi seperti Lanang, satu hari tanpa Cafein adalah penyiksaan. Lanang wajib minum kopi di pagi hari sebelum beraktifitas. Gelas kopi kedua bisa di siang hari, atau bahkan malam hari sebelum ia beranjak tidur. Rupanya kegemarannya dengan kopi membuatnya kebal terhadap pengaruh cafein meskipun ketika akan tidur malam.

Found you!” seru seorang wanita dari belakang Lanang. Wanita tersebut segera duduk di sebelah Lanang. Di tangan kanannya tersampir tas LV keluaran terbaru, sedangkan tangan kirinya menentang dua tas belanjaan yang cukup besar.

“Coba lihat apa yang aku beli?” tanpa basa-basis menunggu Lanang untuk menebak, wanita itu sudah mengeluarkan sekotak permainan dari dalam tas belanjaan bertuliskan Toys R Us. Dia menunjukkan mainan kereta beserta rel-nya yang dapat dirakit sendiri kepada Lanang.

“Bagus” komentar Lanang dengan datar.

“Coba kamu tadi ikut. Aku tadi agak bingung sih milihnya. Tapi semoga Oldi suka ya. Eh, suka nggak yaa? Dia kan ulang tahun yang kelima. Jadi at least dia exited dong dapat hadiah seperti ini. Anak lima tahun udah sanggup kan babe main ginian?” wanita itu mengerjapkan matanya manja kepada Lanang.

“Yeah… Sepertinya begitu.” lagi-lagi Lanang bergumam datar. “Yang tas satu lagi belanja apaan?”

“Oh… ini…” waita itu sibuk mengintip tas belanjaan satunya lagi. “Sepatu.” dia kemudian menyunggingkan senyum penuh kemenangan di wajahnya.

“Sepatu? Lagi?” tanya Lanang heran. Kini dia menghabiskan gelas Caramel Latte hingga bersih.

Wanita disebelah Lanang langsung tersenyum manja. “Charles & Keith lagi diskon, babe. Believe it or not, stiletto ini baru dua bulan keluar dan sudah dapat diskon. Makanya aku beli.”

Lanang hanya menaikkan alisnya. Wanita yang berada di sebelahnya adalah Trista. Mereka telah berpacaran selama satu tahun. Orang akan menganggap Lanang dan Trista layaknya pasangan selebritis. Lanang memiliki postur tubuh yang tinggi hingga mencapai 188 senti meter. Dengan kulit sawo matang, wajah Lanang cukup tampan meskipun tak setampan artis di televisi. Namun dia memiliki kharisma dan pesona yang kuat. Terutama di sekitar para wanita.

Sedangkan Trista adalah wanita bertubuh semampai dan bermata imut layaknya barbie. Postingan selfie-nya di Path maupun Instagram selalu mendapatkan banyak komentar positif, terutama dari para pria. Ke-eksisan Trista di dunia maya berbanding tegak lurus dengan ketenarannya di dunia nyata. Trista adalah teman Lanang semasa mengenyam pendidikan di Universitas dan Jurusan yang sama. Diantara sekian banyak mahasiswi yang naksir dengan Lanang, hanya Trista yang berani mengungkapkannya. Trista adalah wanita pertama yang menyatakan perasaannya kepada Lanang, sekaligus wanita pertama yang menjadi kekasihnya.

“Kita pergi sekarang yuk.” ajak Trista. “Oh tunggu! Aku haus. Aku pesen minum dulu yaa. Take away aja biar cepet.” Trista lalu segera beranjak ke konter.

Lanang dan Trista akan menghadiri ulang tahun kelima Oldi. Oldi adalah keponakan dari Adrian. Sedangkan Adrian adalah pacar dari Rini yang merupakan teman dekat Trista. Bagi Lanang, acara itu sungguh tidak penting. Bagaimana bisa dianggap penting apabila Lanang saja tidak pernah datang ke acara ulang tahun keponakannya sendiri? Bagi Lanang, acara itu membuang-buang waktunya. Tapi dia tidak punya pilihan karena datang ke pesta tersebut adalah inisiasi Trista.

Trista sangat gemar memberikan orang lain hadiah ketika ulang tahun. Karena itu dia sangat suka menyiapkan kejutan pesta ulang tahun, atau hanya datang sekedar meramaikan. Termasuk pesta ulang tahun saudara jauh, hingga keponakan pacar sahabatnya sendiri.

Satu buah pesan WhatsApp muncul di ponsel Lanang

Gue perlu tebengan ke Bandung malam ini juga. Elo dimana sekarang?

Shit!” umpat Lanang.

Trista kembali dengan menggenggam Ice Americano dingin di gelas plastik. “Kenapa?” tanya Trista. Dia seperti membaca gelagat tak biasanya dari Lanang.

Lanang membuka mulutnya dan menutupnya kembali. “Jam berapa acara dimulai?” tanyanya.

Trista melirik jam tangannya. “Jam empat sih undangannya. Kalau pergi sekarang kita masih keburu kok.”

“Apa aku bisa pergi lebih cepat nanti? Maksudku…. sekitar jam enam acara pasti sudah selesai bukan?”

Trista menatap Lanang heran. “Kamu ada acara? Tapi ini kan acara ulang tahun Oldi. Aku sudah ikut mempersiapkan acara ini jauh-jauh hari. Aku juga mencari kadonya dengan susah payah”

Iya. Tapi Oldi Cuma keponakan dari cowoknya sahabat elo which is nggak penting banget gue datengin! Dan sejak kapan elo sekarang ngerangkap kerja jadi birthday organizer?” keluh Lanang dalam hati.

“Oke. Kita berangkat sekarang aja ya” Lanang memaksakan tersenyum. Sekali lagi, dia tidak pernah punya pilihan.

Trista beranjak sambil menyeruput minumannya, kemudian menyerahkannya sisa Americano setengah gelas itu kepada Lanang. “Nih babe. Abisin. Aku kenyang udahan.” Dia kemudian melenggang keluar dari kedai kopi dengan menenteng belanjaannya.

Lanang mengikuti Trista dari belakang. Sesampainya di luar kedai, dia membuang Ice Americano ke tempat sampah tanpa sepengatahuan Trista. Lanang membenci Americano. Lanang membenci kopi hitam. Dia tidak pernah menyukainya.

 

 

Coming up next Cofee Talk #2

2 pemikiran pada “Coffee Talk #1

Tinggalkan Balasan ke Prawinda Anzari Batalkan balasan